FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM: Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan

FPI_2014

Penulis       : Dr. Toto Suharto, M.Ag.

Penerbit     : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta

Cetakan      : I, 2014 (Edisi Revisi)

Ukuran       : 17 x 24 cm

Halaman     : 324 hlm.

ISBN         : 978-602-313-018-4

Buku ini mencoba membongkar ulang landasan epistemologis keilmuan Filsafat Pendidikan Islam dengan melihatnya dari epistemologi Islam, yang tidak hanya bersumber pada wahyu sebagai highest wisdom of God, sebuah kawasan transendental yang tak tersentuh oleh filsafat ilmu Barat, tapi juga bersumber pada kawasan historis yang rasional, empiris dan intuitif.

Bangunan ilmu bertumpu pada tiga tiang penyangga, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Tiga tiang penyangga ini akan mempermasalahkan apa, bagaimana dan untuk apa hakikat suatu ilmu. Dalam tradisi keilmuan Barat, terkenal istilah scinece for science, tapi dalam Islam, istilah tersebut tidak dikenal. Sebab, ilmu dalam Islam bertopang pada kesadaran dan keimanan kepada kekuasaan Allah. Islam menghendaki keterlibatan dan kemaslahatan umat dalam pengembangan ilmu dan pencarian kebenaran ilmu. Oleh karena itu, karakter ilmu pengetahuan dalam Islam, selain bertumpu pada antroposentris, juga teosentris.

Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian filosofis mengenai berbagai masalah pendidikanyang berlandaskan ajaran Islam. Kajian filosofis digunakan dalam Filsafat Pendidikan Islam artinya merupakan pemikiran secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam mencari kebenaran, inti atau hakikat pendidikan Islam. Buku ini berupaya menguraikan landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi Filsafat Pendidikan Islam, yang diinterelasikan dengan pandangan dunia Islam tentang pendidikan. Uraian buku ini mencakup penjelasan tentang kedudukan Tuhan, manusia dan alam; uraian tentang komponen-komponen pendidikan Islam, berbagai wacana dan isu-isu kontemporer Filsafat Pendidikan Islam, serta pemikiran pendidikan dari para tokoh Islam.

Al-hamd li Allah wa al-syukr li Allah, sejak terbit untuk kali pertama pada tahun 2006, kemudian cetak ulang pada 2011, buku Filsafat Pendidikan Islam ini mendapat tanggapan cukup positif dari kalangan akademisi UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia, baik dosen maupun mahasiswa. Mereka memberikan respons yang apresiatif terhadap buku ini. Saya selaku penulis sering mendapat informasi, baik melalui telepon maupun blog, untuk menggunakan buku ini sebagai bahan referensi di dalam perkuliahan.

Untuk itu, sebagai respons balik terhadap apresiasi itu, pada cetakan edisi revisi ini, ada beberapa penambahan konten dan revisi yang kiranya perlu dilakukan bagi perbaikan buku ini. Selain sistematika yang ditataulang, ada beberapa materi baru yang dimasukkan, sebagai perkembangan mutakhir yang muncul dalam bidang kajian Filsafat Pendidikan Islam. Selain itu, subjudul pun diberikan pada buku ini, untuk memberikan kesan keberbedaannya di antara karya-karya sejenis, yang sekaligus menjadi “penanda” bagi kekhasan buku ini. Semoga upaya ini merupakan langkah penulis untuk terus mengkaji dan mengembangkan keilmuan bidang Filsafat Pendidikan Islam, sehingga keberadaan disiplin ilmu ini menjadi peneguh dan penguat bagi epistemologi Islam.

Kepada rekan-rekan akademisi UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia yang telah memberikan respons positif, penulis haturkan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya, demi kemajuan khazanah keilmuan Islam di Inonesia. Juga kepada Penerbit Ar-Ruzz Media, terima kasih atas kepercayaannya untuk tetap menerbitkan buku ini yang kali ini dalam bentuk cetakan edisi revisi. Semoga semua upaya ini menjadi amal baik bagi kita semua, yang dinilai ibadah oleh Allah SWT. Amin.

 

ayat-ayat alqur'an

UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan tujuh bidang kajian yang menjadi garapan PTAI, yaitu: (1) fakultas ushuluddin, (2) fakultas syariah, (3) fakultas adab, (4) fakultas dakwah, (5) fakultas tarbiyah, (6) fakultas filsafat dan pemikiran Islam, dan (7) fakultas ekonomi Islam. Namun, bidang filsafat dan pemikiran Islam sering disatukan dalam fakultas ushuluddin, sehingga jumlahnya menjadi enam fakultas.  Meskipun demikian, basis legalitas-konstitusional ini masih menyisakan banyak persoalan, salah satunya dilihat dari perspektif epistemologi integrasi-interkoneksi.

 

Karya ini menemukan: (1) epistemologi keilmuan “integrasi-interkoneksi” yang merupakan gagasan Prof. M. Amin Abdullah berusaha mendekatkan dan mengaitkan antara  “ilmu” dan “agama”, yang tergambar dalam model ”Jaring Laba-Laba”; (2) keenam wilayah rumpun ilmu agama Islam, sebagaimana tertera dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu ilmu ushuluddin, ilmu syariah, ilmu adab, ilmu dakwah, ilmu tarbiyah dan ilmu ekonomi Islam, mendapat legitimasi al-Qur’an melalui sebaran berbagai ayatnya dalam bentuk pemetaan; (3) keenam rumpun ilmu agama Islam ini jika dilihat dari terminologi yang digunakan, posisinya masih berada dalam jalur Lingkar Lapis Dua dalam wilayah epistemologi integrasi-interkoneksi model “Jaring Laba-Laba”. Dengan demikian, enam rumpun ilmu agama Islam dalam UU No. 12/2012 ini pada hakikatnya tidak relevan dengan semangat perubahan dari IAIN ke UIN yang menghendaki adanya peningkatan lapisan dalam “Jaring Laba-Laba” dari Lapis Dua ke Lapis Tiga. Pada sisi yang lain, keenam rumpun ilmu agama Islam dalam UU No. 12/2012 juga tidak implementatif, karena ada semacam missmach antara realitas UIN dengan konten hukum dalam rumpun ilmu agama menurut UU No. 12/2012.

 

Ayat-Ayat Al-Qur’an Tentang Rumpun Ilmu Agama: Perspektif Epistemologi Integrasi-Interkoneksi

Pemilu dan Pemimpin yang Amanah

PEMILU DAN PEMIMPIN YANG AMANAH

Oleh: Dr. Toto Suharto, M.Ag.

الحمد لله الذى حثنا على الوحدة و الأخوة. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لاشريك له الملك الحقّ المبين. وأشهد أن محمّدا عبده ورسوله خاتم الأنبياء والمرسلين. اللهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيدنا محمّد وعلى أله واصحابه أجمعين. أمّا بعد , فياعبادالله, أوصيكم وإيّاي بتقوى الله وطاعته لعلكم ترحمون.قال الله تعالي في القران الكريم وهو اصدق القائلين:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

 

Hadirin, Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah!       

Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 sebentar lagi digelar, yaitu sekitar satu bulan ke depan. Penyelenggaraan Pemilu tahun ini, merupakan kali keempat dalam Orde Reformasi atau pasca Orde Baru. Pemilu sejatinya menjadi ajang pemuliaan martabat manusia, sebab lewat mekanisme demokrasi, dapat dipilih pemimpin-pemimpin yang berkualitas, baik untuk pemilihan legislatif (Pileg) di DPR/DPRD dan DPD, ataupun pemilihan eksekutif, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres), yang dilaksanakan setelah pemilihan legislatif. Di pundak merekalah bergantung nasib jutaan rakyat Indonesia. Melalui mereka, impian kesejahteraan rakyat Indonesia ini, diharapkan dapat menjadi kenyataan.

Sayangnya, sistem seleksi kepemimpinan lewat mekanisme demokrasi Pemilu di Indonesia, terkadang mengalami disorientasi. Pemilu sering dinilai gagal untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas, yang mampu memimpin dan mengelola negara demi kesejahteraan rakyat. Demokrasi alih-alih bermetamorfosa menjadi sistem politik “dagang sapi”, yang sangat transaksional. Dalam konteks ini, menurut Dr. Solatun Dulah Suyati, M.Si dalam karya terbarunya terbitan Januari 2014, sistem ini telah mengabaikan kapasitas, integritas dan kapabilitas moral dan pengetahuan calon pemimpin. Karena, yang dibutuhkan calon pemimpin dalam sistem politik “dagang sapi” ini adalah popularitas dan kemampuan ekonominya yang kuat, bukan lagi kapasitas, integritas dan kapabilitas kepribadiannya. Demokrasi di Indonesia diakuinya menjadi proses transaksional dan proses industrialisasi politik yang paling kapitalistik di dunia, bahkan melampaui praktik yang pernah ada di Amerika Serikat.

Sidang Jum’at yang Berbahagia!

Untuk itu, pada khutbah kali ini, Khatib akan mengulas sedikit mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam konsepsi Islam. Kriteria apa yang harus dimiliki seorang pemimpin? Diharapkan tema ini menjadi semacam pencerahan bagi kita semua, dalam memilih pemimpin pada pesta politik besok 9 April 2014. Nabi Muhammad lahir ke dunia, untuk menggenapkan misi suci yang telah dibawa para nabi dan rasul sebelumnya. Allah telah menurunkan risalah yang satu ini, untuk memimpin dan membimbing manusia di segala zaman. Perbedaan bahasa dan budaya, serta tantangan lingkungan di setiap masa, tidak dapat menyimpangkan nilai-nilai universal Islam yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Nilai-nilai universal itu, antara lain: mengesakan Allah Sang Pencipta (tauhid), menegakkan keadilan, menebarkan kedamaian dan kebaikan, serta mencegah kemungkaran dan penindasan. Untuk menjalankan misi yang berat ini, maka diperlukan karakter manusia yang kokoh integritas dan kepribadiannya, sebagaimana tercermin dalam sifat-sifat wajib Nabi yang empat, yaitu shidq atau jujur, amānah atau dapat dipercaya, fathānah  atau cerdas, dan tablīgh atau komunikatif dalam istilah manajemen modern.

Karena keterbatasan waktu, fokus khutbah kali ini adalah tentang karakter amānah atau dapat dipercaya. Apa itu amanah? Bagaimana Islam bicara tentang amanah? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus diajukan. Terma “amanah” sesungguhnya merupakan istilah bahasa Arab yang telah mengalami pengindonesiaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ditemukan dua kata yang menunjuk makna “amanah” dalam bahasa Arab, yaitu amanah atau amanat. “Amanah” dapat diartikan sebagai: pesan yang dititipkan kepada orang lain untuk disampaikan; keamanan dan ketenteraman; atau kepercayaan. Sedangkan “amanat” mengandung arti: sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain; bisa berarti pesan, nasihat atau petuah yang baik dan berguna dari orangtua; atau bisa juga bermakna perintah dari atasan atau wejangan dari seorang pemimpin. Sedangkan dalam bahasa Arab, “amanah” merupakan kata benda dari Amuna-Ya’munu-Amnan wa Amanatan, yang berasal dari akar kata Hamzah, Mim dan Nun. Di dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lugah disebutkan bahwa kata “amanah” memiliki dua makna, yaitu lawan dari kata “khianat”, yang berarti ketenangan atau ketenteraman hati; dan juga bisa berarti al-tasdiq atau pembenaran.

Hadirin Sidang Jumah Rahimakumullah!

Dari akar kata yang sama dengan amanah, juga muncul kata “Iman” dan “aman”. Artinya, amanah itu terkait dengan keimanan, bahkan keimanan menjadi dasar bagi suatu amanah. Di dalam Musnad Ahmad ibn Hambal Juz III ditemukan hadis لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَه (Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak memiliki amanah). Ini pula yang dimaksud Q.S. al-Mu’minun: 1-8 bahwa salah satu ciri orang beruntung adalah Mukmin yang memelihara amanah yang dipikulnya:

tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdωôgtãur tbqããºu‘ ÇÑÈ  

Amanah yang berdasar keimanan itu pada gilirannya dapat melahirkan rasa aman dan keamanan. Ragib al-Isfahani dan Farid Wajdi sepakat bahwa amanah itu melahirkan Tu’maninat-un-nafs (ketenteraman jiwa) dan sukun-ul-qalb (ketenteraman hati). Oleh karena itu, wajar kalau Rasulullah dalam hadis Bukhari menyebutkan bahwa apabila amanah tersia-siakan, tidak ditunaikan, maka akan datang suatu kehancuran yang melahirkan rasa ketidakamanan.   

إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

 “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. Sahabat bertanya: Bagaimana bentuk penyia-nyiaan amanah itu? Rasul menjawab: Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah saat kehancurannya” (H.R. Bukhari).

 

 

Hadirin Yang Berbahagia!

Amanah menempati posisi strategis dalam syariat Islam, bahkan dalam suatu sistem pemerintahan. Rasulullah yang mendapat gelar Al-Amin, yaitu orang yang terpercaya, menegaskan bahwa amanah menjadi salah satu pembeda kaum muslim dengan kaum munafik. Dalam hadis Muttafaq ‘Alaih, Rasul bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

 “Tanda-tanda munafik itu ada tiga: apabila bicara, berdusta; apabila berjanji mengingkari; dan apabila dipercaya (amanah), berkhianat”.

Rasulullah sendiri telah memperingatkan kaum Muslim agar tidak sembarangan memberikan amanah (kepercayaan) kepada orang lain, terutama apabila ia adalah sanak familinya. Sabda Rasul: “Barangsiapa yang mengangkat seseorang (untuk suatu jabatan) karena semata-mata hubungan kekerabatan dan kedekatan, sementara masih ada orang yang lebih tepat dan ahli daripadanya, maka sesungguhnya dia telah melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman” (H.R. al-Hakim).

Lebih jauh, Rasulullah dalam Sahih Muslim Juz III, tidak mau memberikan amanah kepada Abu Dzarr al-Gifari ketika meminta suatu jabatan, bahkan Rasul mengatakan bahwa engkau terlalu lemah untuk posisi tersebut.

عَنْ أَبِي ذَرِّ قَالَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلْنِي؟ قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ (يَا أَبَا ذَرِّ إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا).

Dari Abu  Dzarr, ia berkata: Saya berkata kepada Rasulullah, Wahai Rasul, hendaklah engkau memberiku jabatan! Rasulullah kemudian menepuk punggung saya seraya berkata, Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau itu lemah dan sungguh jabatan itu adalah amanah, dan jabatan itu pada hari kiamat hanyalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya secara benar dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya”

 

Jamaah Jumah Rahimakumullah!

Dengan demikian, posisi Islam terhadap amanah ini sangat jelas sekali urgensinya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan berpolitik dan bernegara. Banyak dijumpai dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang menyuruh melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Dalam Q.S. al-Nisa: 58 misalnya menyebutkan:

* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù’tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $Jè‹Ïÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ   

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

 

Meskipun ayat tersebut turun dalam masalah ‘Usman bin Talhah al-Hujubi tentang kunci Ka’bah yang diminta oleh al-‘Abbas agar dia yang memegangnya, kemudian Allah menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memberikan amanah kepada orang yang berhak, namun menurut Prof. Wahbah al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Wasit Juz I, ayat tersebut tetap berlaku bagi setiap orang agar melaksanakan amanah yang menjadi tanggungannya, baik kepada khalayak maupun kepada individu.

Pada ayat lain, meskipun tidak menggunakan kata kerja perintah secara langsung seperti pada ayat di atas, tetapi tetap mengandung perintah untuk melaksanakan amanah, karena menggunakan fi’il mudari yang disertai huruf lam perintah, yaitu terdapat dalam QS. al-Baqarah: 283.

* ÏjŠxsã‹ù=sù “Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm­/u‘

“Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.

 

Hadirin! Demikianlah amanah sangat penting posisinya dalam segala kehidupan manusia, karena tanpa amanah, berbagai macam aturan, undang-undang dan sebagainya tidak dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, wajarlah jika Allah memberikan amanah sebagai suatu bentuk ketaatan. Amanah tidak hanya terkait dengan aspek diniyah seperti ibadah, tapi juga terkait dengan aspek duniawi seperti jabatan dan kekuasaan. Hal ini terkait dengan kondisi tahun politik 2014, di mana kita dihadapakan pada banyak pilihan Caleg-caleg, yang fose dan fotonya terpampang hampir di setiap sudut jalan protokoler, bahkan di gang-gang sekalipun. Semoga khutbah ini dapat memberi pencerahan bagi kita untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa yang amanah, karena kita tidak salah memilih. Ingat! Jika kita tidak memilih pemimpin yang amanah, maka tunggulah saat kehancuran bangsa ini.           

بارك الله لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

KHUTBAH KEDUA:

الحمد لله الذي أكمل لنا ديننا وأتم علينا نعمته ورضي لنا الإسلام ديناَ. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمّدا عبده ورسوله. اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى أله واصحابه أجمعين. أما بعد: فياأيهاالمسلمون الكرام, إتقوا الله حق تقاته ولا تموتنّ إلا وأنتم مسلمون.

Hadirin, rahimakumullah! Pada khutbah kedua ini, marilah kita memohon kepada Allah, agar kita selaku bangsa diberi kekuatan iman oleh Allah untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa yang memiliki sifat-sifat kenabian, yang salah satunya adalah berkarakter amanah. Amin ya Rabbal alamin!

 إن الله وملاءكته يصلون علي النبي. ياأيهاالذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل علي سيدنا محمد وعلي أل سيدنا محمد والحمد لله رب العالمين. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات. إنك سميع قريب مجيب الدعوات, ويا قاضي الحاجات. اللهم أعز الإسلام والمسلمين, وأصلح ولاة المسلمين, وألف بين قلوبهم وأصلح ذات بينهم وانصرهم علي عدوك وعدوهم, ووفقهم للعمل بما فيه صلاح الإسلام والمسلمين. اللهم لاتسلط  علينا بذنوبنا من لايخافك ولايرحمنا, يا أرحم الراحمين. ربنا أتنا في الدنيا حسنة وفي الأخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين.

عباد الله, ان الله يأمر بالعدل ولإحسان وإيتاء ذي القربي وينهي عن الفحشاء والمنكر والبغى, يعظكم لعلكم تذكرون ولذكر الله أكبر. أقم الصلاة ! 

Pendidikan Berbasis Masyarakat Organik: Pengalaman Pesantren Persatuan Islam

Pendidikan di Indonesia masa Orde Baru ditengarai sebagai pendidikan yang menerapkan kebijakan sentralistik, yang menjadikan pendidikan sebagai bagian birokrasi pemerintah, sehingga peran serta masyarakat terkesan terabaikan. Di tengah situasi pendidikan seperti ini, Pesantren Persatuan Islam selaku lembaga swasta yang dikelola oleh organisasi Persatuan Islam, tampil sebagai lembaga pendidikan yang tetap melaksanakan pendidikannya secara mandiri dan otonom.

Ada empat permasalahan yang dikemukakan dalam buku ini. Pertama, bagaimana kebijakan pendidikan Islam yang diterapkan terhadap lembaga swasta? Kedua, mengapa Pesantren Persatuan Islam menyelenggarakan pendidikan secara mandiri dan otonom di saat pemerintah Orde Baru menerapkan sistem pendidikan yang sentralistik? Ketiga, bagaimana respons Pesantren Persatuan Islam terhadap kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah tersebut? Keempat, bagaimana relevansi pendidikan berbasis masyarakat persatuan Islam bagi pendidikan nasional? Untuk dapat menjawab keempat permaslahan ini, karya ini menggunakan grand theory Antonio Gramsci tentang konsep hegemoni, yang melihat lembaga-lembaga sosial-ideologis seperti pendidikan, hukum, mass media, agama dan lain-lain adalah tidak netral, dalam arti merupakan perekat hegemoni dari kelompok sosial yang berkuasa dalam masyarakat.

Dengan kerangka teoritis itu, karya ini menemukan: Pertama, berbagai kebijakan pendidikan Islam yang keluarkan pemerintah Orde Baru dilakukan dalam rangka mengarah pada proses hegemoni, agar masyarakat dapat mengkuti “pandangan dunia”nya. Pemerintah secara sentralistik-birokratik telah menyeragamkan agar pendidikan yang dilaksanakan di lembaga madrasah mengikuti kurikulum sekolah umum, yang semuanya dilakukan dalam rangka proses hegemoni. Kedua, pada masa kepemimpinan KH. A. Latief Muchtar, MA. (1983-1997), Pesantren Persatuan Islam telah melaksanakan proses pendidikannya secara mandiri dan otonom yang tampak dalam bentuk kelembagaan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan dan pendanaan pendidikan. Satu alasan utamanya adalah masalah ideologi, yaitu bahwa untuk menciptakan manusia Muslim yang tafaqquh fi> al-di>n sesuai dengan ideologi Islam, tidak mungkin terwujud apabila pendidikan yang dikelolanya mengikuti sistem pemerintah. Ketiga, dalam rangka kontra-hegemoni terhadap proses hegemoni Orde Baru, Persatuan Islam melalui pesantrennya telah melakukan perjuangan kultural dan ideologis, dan perjuangan praktis institusional sebagai sebuah bentuk responsnya terhadap kebijakan yang diterapkan pemerintah. Keempat, melalui penemuan-penemuan ini, karya ini memunculkan konsep pendidikan berbasis masyarakat organik yang berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat tradisional. Ketika yang pertama betul-betul memiliki keberpihakan terhadap masyarakat dengan tidak mengikuti kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, maka yang kedua adalah menjadi “deputi” bagi pemerintah karena telah mengikuti sebagian kebijakan-kebijakan pemerintah. Kategorisasi pendidikan berbasis masyarakat inilah yang menjadi sumbangan ilmiah terpenting dari buku ini.selengkapnya, silakan Download di TOTO_SUHARTO_pendidikan_berbasis_masyarakat_organik-libre

Gambar

RAMADAN DAN PENGENDALIAN NAFSU AKAN HARTA

RAMADAN DAN PENGENDALIAN NAFSU AKAN HARTA
Oleh: Dr. Toto Suharto, M.Ag. (Khutbah Idul Fitri 1433H di Masjid Baitul Ihsan, Tanjungsari Jogorogo Ngawi Jawa Timur)

الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. لاإله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا, لاإله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الحمد لله الذي جعل اليوم عيدا لعباده المؤمنين. وختم به شهر الصيام للمخلصين. وجعل في طاعته عز الدنيا والاخرة للطائعين. اشهد ان لااله الا الله وحده لاشريك له شهادة بها تطهر القلوب من الغش اللعين. واشهد ان محمدا عبده ورسوله اطوع الخلق لرب العالمين. اللهم فصل وسلم وبارك على سيد نا محمد وعلى اله واصحابه الجاهدين. اما بعد: , فيا أيها المسلمون رحمكم الله! أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتّقون. قال الله تعالى في القرأن الكريم وهو أصدق القائلين: قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا عيدا لأوّلنا وأخرنا وأية منك, وارزقنا وأنت خير الرازقين.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia !
Puja dan puji yang penuh rasa syukur mari kita panjatkan kepada Allah Yang Maha Rahman. Berkat hidayah dan inayah-Nya kita telah mampu melaksanakan jihad akbar, memerangi syetan dan hawa nafsu di medan ibadah bulan Ramadhan. Dengan izin-Nya pula kita berhasil mengumumkan “proklamasi kemenangan” dari penjajahan syetan, seraya menegakkan bendera tauhid dan mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tasbih di hari raya fitri yang berbahagia ini. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan sepenuhnya kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW yang telah mengorbankan segenap usia, daya dan upaya demi kebahagiaan umatnya di dunia dan di akhirat.

Ma’asyiral Mukminin Rahimakumullah!
Ramadhan yang penuh hikmah dan barokah telah berlalu meninggalkan kita. Namun kita senantiasa berdoa, semoga berkah dan hikmahnya tidak akan berlalu dari jiwa kita, tanpa meninggalkan pesan dan kesan relijius. Mudah-mudahan kita tidak termasuk orang yang disinyalir Rasulullah: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak ada yang didapatnya selain lapar dan haus” ( HR. Ahmad dan Hakim ).
Sungguh banyak rangkaian hikmah Ramadhan yang dapat kita petik dari ibadah puasa. Melalui ibadah puasa, kita dididik untuk dapat mengendalikan hawa nafsu. Kita hanya tunduk dan takluk di bawah kekuasaan dan kehendak Allah SWT. Pada hari biasa, apabila kita merasa lapar dan haus, kita kadang langsung teringat makanan dan minuman. Akan tetapi, pada bulan Ramadhan, setiap kita lapar dan haus, justeru kita teringat kepada Allah. Kita tidak langsung memenuhi kehendak hawa nafsu untuk makan dan minum. Kita mengendalikannya dan menaklukannya di bawah kehendak Allah, dengan mengundurkannya sampai berbuka, dengan penuh keimanan dan kesadaran.
Mengendalikan hawa nafsu sesungguhnya bukan hanya dituntut selama bulan suci Ramadhan saja, tapi hendaknya menjadi “pakaian hidup” setiap Mukmin. Selain itu, yang dikendalikan bukan hanya kehendak hawa nafsu makan dan minum saja, tetapi semua hawa nafsu yang mempengaruhi diri dan jiwa. Kita hendaknya dapat mengendalikannya sesuai kehandak Allah, agar tercipta nafsu muthmainnah yang penuh bahagia dalam keridhoan Allah SWT. “Wahai nafsu muthmainnah! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh keridhoan, masuklah ke dalam kelompok hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” ( QS. Al-Fajr:27-30).

Hadirin, Jama’ah Id yang berbahagia!
Ibadah puasa, sepanjang sejarah manusia, selalu menyerukan pesan “menahan dan mengendalikan diri sendiri”, sebuah pesan moral yang sangat mulia. Puasa, menurut istilah Prof. Ismail Raji’ al-Faruqi, adalah “latihan terbaik dalam seni pengendalian diri” (the art of self mastery). Puasa merupkakan ibadah yang mendorong kita berlatih menguasai dan mengendalikan diri. Pengendalian diri sering dikaitkan dengan kerja dan tanggung jawab secara pribadi. Pengendalian diri hanya bisa dilakukan orang yang bersangkutan, dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain. Sebab itu, puasa merupakan ibadah yang berkaitan langsung dengan sarana latihan dan pendidikan tanggung jawab secara pribadi. Orang yang berpuasa karenanya akan selalu menyadari bahwa Allah selalu bersamanya, dan mengawalnya sepanjang hari.
Di antara pengendalian diri yang dijarkan Ramadan ketika kita berpuasa adalah pengendalian terhadap nafsu akan harta. Harta itu merupakan suatu nikmat, tapi sekaligus ia juga merupakan amanah dan fitnah dari Allah. Oleh karena itu, hendaknya kita dapat mempergunakan dan memanfaatkan harta sesuai aturan dan bimbingan Allah, agar menjadi berkah dan kebahagiaan bagi kehidupan dunia dan akhirat. Terdapat beberapa hikmah yang dapat kita petik ketika kita berpuasa, khususnya terkait dengan pengendalian terhadap nafsu akan harta.
Pertama, puasa Ramadan mengajarkan kita untuk membelanjakan harta pada yang halal, bukan yang haram! Apa yang kita makan dan minum, baik untuk berbuka maupun sahur, kita upayakan agar berasal dari yang halal, bukan yang haram. Sungguh Allah telah mengingatkan kita, agar harta yang kita dapatkan dengan cucuran keringat, jangan sampai satu senpun dibelanjakan pada yang haram, baik untuk dimakan, diminum maupun untuk dibelikan pakaian. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya agar memakan yang halal saja, tanpa dicampuri dengan yang haram sedikitpun. “Maka makanlah rizki yang telah Allah berikan kepadamu, yang halal lagi baik, dan bersyukurlah kepada Allah jika kamu betul-betul hanya kepada-Nya mengabdikan diri”, demikian firman Allah dalam QS. An-Nahl: 114 .

Ma’asyirol Muslimin Rahimakumullah!
Makan dan minum selain mempengaruhi pertumbuhan fisik, juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pembinaan jiwa. Makanan yang halal akan menumbuhkan pribadi yang sehat rohani, siap mengabdi kepada Allah. Pribadi yang saleh, suci dan ahli ibadah, hanya dilahirkan dan dibesarkan dari pribadi yang suci pula, yaitu yang hanya memakan yang halal dan menjauhi yang haram. Sebaliknya, apabila seorang anak dibesarkan dari makanan yang haram, atau dari hasil kerja yang haram, maka sungguh sulit dia akan menjadi pribadi yang suci dan mulia. Karena memang darah dagingnya berasal dari yang haram, sehingga perilakunya cenderung kepada yang haram. “Kalaulah makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya diperoleh dari usaha yang haram dan dibesarkan dengan harta yang haram, maka bagaimana Allah akan memperkenankan doanya?”, demikian sabda Rasul sebagaimana diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah.

Allahu Akbar (3x) Wa Lillahilhamd!
Kedua, puasa Ramadan mengajarkan kita untuk membelanjakan harta itu seperlunya saja, tidak berlebihan! Ketika kita makan berbuka atau sahur, kita cukup mengkonsumi apa yang menjadi kebutuhan nutrisi kita, tidak berlebihan dan melebihi kapasitas kemampuan perut kita. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-An’am: 141). Isrof adalah berlebih-lebihan, yaitu membeli dan memiliki sesuatu dalam jumlah yang melampaui batas kewajaran, atau membeli dan memiliki sesuatu bukan karena keperluan, tetapi karena berpacu dalam gengsi. Sungguh Allah membenci pola hidup yang mewah dan berfoya-foya, yang menjadikan harta sebagai simbol atau lambang gengsi. Allah menjadikan harta hanyalah sebagai alat, bukan tujuan hidup. Tujuan hidup sebenarnya adalah pengabdian kepada Allah. Kemuliaan atau gengsi seseorang, diukur bukan dengan harta atau kemewahan, tapi dengan pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah.
Kehancuran suatu negeri digambarkan al-Qur’an bukan karena kamiskinan, tapi karena pelesiran dan hidup berfoya-foya, yang menimbulkan gejolak dan kecemburuan sosial. Mereka tidak peduli lagi dengan peringatan Allah. Pada saat itulah Allah menurunkan kutukan dan murka-Nya dengan menghancurkan negeri tersebut. “Dan apabila Kami mentakdirkan kehancuran suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada mereka yang suka berfoya-foya agar ingat kepada Allah, namun justeru mereka membuat keonaran dan kefasikan, sehingga pantaslah mereka mendapatkan peringatan Kami. Kemudian Kami hancur leburkan mereka” (QS. Al-Isra : 16).

Hadirin, Hadirat Yang berbahagia !
Ketiga, puasa Ramadan memberikan pelajaran bagi kita agar membelanjakan harta pada yang bermanfaat, bukan pada yang mubadzir. Ajaran Ramadan ketiga ini sesuai dengan firman Allah QS. Al-Isra : 26-27. “Dan berikanlah hak karib kerabat, orang miskin dan ibnu sabil, dan janganlah engkau berbuat mubadzir, sesungguhnya mubadzir itu kawan syetan. Dan syetan itu kufur kepada Tuhannya”. Yang dimaksud mubadzir adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sebuah piring biasanya untuk wadah makanan. Tetapi apabila sebuah piring dibeli hanya untuk dipajang, tidak untuk dipakai, maka itulah mubadzir. Apalagi kalau harga piring itu ratusan ribu, atau bahkan jutaan rupiah. Tentunya hal ini akan melumpuhkan ekonomi sebuah negara, karena uang seharga piring itu terhenti dari peredaran. Padahal menurut teori ekonomi, uang itu hendaknya tetap beredar. Orang-orang yang melakukan mubadzir dicap oleh Allah sebagai kawan syetan. Hal ini karena hobi mengoleksi barang-barang antik dan mahal, biasanya akan menimbulkan perasaan sombong dan bangga, sedangkan yang suka sombong dan bangga itu hanya syetan dan iblis.
Adalah tidak arif dan bijaksana, apabila kita mengoleksi barang mubadzir dengan harga jutaan rupiah, sementara tetangga kita, orang yang hidup di samping rumah kita, merintih kelaparan. Pagi makan, sore tidak, atau sebaliknya. Apakah hati kita tidak tergugah oleh sabda Rasulullah SAW :
ليس المؤمن بالذى يشبع وجاره جائع إلى جنبه (رواه البخارى).
“Tidak termasuk mukmin yang sempurna, orang yang hidupnya kenyang sendiri, sementara tetangga di sampingnya kelaparan” (HR. Bukhori ).
Keempat, puasa Ramadan mendidik kita untuk membayarkan harta zakat sebagai suatu kewajiban, baik zakat harta maupun zakat fitrah. Zakat merupakan salah satu rukun Islam. oleh karena itu, sangatlah keras ancaman dan peringatan yang telah Allah tetapkan kepada mereka yang tidak mengeluarkan zakat. Harta itu pada hakikatnya hanya titipan Allah bagi para mustahiq. Barang siapa yang tidak menyampaikan titipan itu kepada empunya, maka ia telah berbuat zalim, dan telah berani menentang hukum Allah. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, dan tidak mengeluarkan zakatnya pada jalan Allah, maka berilah peringatan kepada mereka dengan azab yang berat. Pada hari dipanaskan semua emas dan perak itu dalam neraka jahanam, lalu dibakarkan ke dahi, rusuk dan punggung mereka. (Kepada mereka dikatakan): Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu, maka rasakanlah azab dari ( harta) yang kamu simpan itu” (QS. At-Taubah; 34-35) .

Allahu Akbar (3x) Wa Lillahilhamd !
Hikmah kelima yang dapat kita petik dari pengajaran Ramadan adalah adalah: Budayakanlah sedekah sebagai penanaman modal bagi pembangunan istana kebahagiaan di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, disebutkan, ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah, sedekah apa yang paling utama? Rasul menjawab: Shodaqatun fi Ramadlan. Dari sini, kita diajarkan untuk mentradisikan sedekah, yaitu menjadikan sedekah sebagai pakaian hidup atau kebiasaan yang telah membudaya. Secara lahiriyah, harta zakat atau sedekah infaq itu dikeluarkan untuk kepentingan orang lain, tapi pada hakikatnya tidaklah demikian. Sesungguhnya harta itu akan menjadi amal simpanan bagi kita di hari pembalasan nanti. Dia nantinya akan selalu menjadi amal yang pahalanya senantiasa mengalir, meskipun kita telah meninggal dunia.
Harta yang kita simpan di Bank atau di lemari besi, belum tentu kita sendiri yang memanfaatkannya. Sebab, boleh jadi kita lebih dulu meninggalkan dunia ini, ditunggu oleh malaikat Maut. Demikian juga koleksi harta kekayaan yang dikumpulkan, akan kita tinggalkan atau wariskan untuk orang lain, sebab kita tidak membawanya ke alam barzah. Dalam kaitan ini, alangkah meruginya mereka yang mati-matian mengumpulkan harta, tetapi belum sempat memanfaatkannya manjadi harta yang memiliki nilai ibadah sosial. Hanya penyesalanlah yang mereka rasakan. “Dan infaqkanlah sebagian rizki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum maut mendatangimu. Di waktu itu kamu akan menyesal dan berkata “Ya Tuhanku! Kalaulah Engkau berkenan mengundurkan ajalku sekejap saja, niscaya akan aku sedekahkan semua hartaku, sehingga aku menjadi orang yang saleh. Namun Allah tidak akan mengundurkan ajal sedikitpun bila telah tiba, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al- Munafiqun: 10-11).

Hadirin, Jama’ah Id yang Allah Mulyakan !
Pada hari yang fitri ini, hari kemenangan kita setelah melakukan jihad akbar pada bulan suci Ramadhan, marilah kita melakukan perenungan dengan sedikit berkontemplasi tentang harta yang selama ini kita miliki. Berdasarkan lima ajaran Ramadan tentang tentang membelanjakan harta di atas, bolehlah kita bertanya pada diri kita sendiri: adakah harta yang kita miliki diperoleh dengan jalan yang halal ? Sudahkah kita membelanjakan pada yang halal? Apakah makanan, minuman, dan pakaian kita berasal dari yang halal? Mari kita membaca diri, bagaimana sikap kita dalam mengendalikan nafsu akan harta ini, apakah berlebih-lebihan, berbuat mubadzir atau tidak? Sudahkah harta itu kita tunaikan zakatnya? Apakah kita sudah melaksanakan budaya sedekah? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya sebagai renungan dan muhasabatunnafs, yang tidak perlu di jawab di muka umum. Hanya diri kita masing-masing yang tahu dengan pasti mengenai jawabannya.
Namun yang pasti, apabila lima ajaran Ramadan tentang pengendalian nafsu akan harta itu kita lestarikan dan abadikan dalam kehidupan pasca-Ramadan, niscaya Indonesia yang mayoritas Muslim ini akan menjadi bangsa yang Baldatun Thoyyibah wa Rabbun Ghafur, bebas dari tindakan-tindakan kriminal terkait dengan penyelewengan harta, bebas dari korupsi dan manifulasi. Banyaknya kasus korupsi yang kini ditangani KPK, tidak lain kecuali disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan nafsu akan hartanya. Semoga di hari kemenangan ini, ajaran-ajaran Ramadan senantiasa mewarnai seluruh hidup kita, amin ya rabbal ‘alamin.
بارك الله لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

الخطبة الثانية
الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر.ولله الحمد.
الحمد لله الذى جعل اليوم عيدا للمسلمين, وجعل عبادة الصوم وزكاة الفطر من شعائر الدين. أشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له. وأشهد أن محمّدا عبده ورسوله.أما بعد: فيا عباداالله, إتقوا الله حق تقاته ولاتموتنّ إلا وأنتم مسلمون. اللهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيدنا محمّد وعلى أل سيدنا محمّد كما صليت وسلّمت وباركت على سيدنا إبراهيم وعلى أل سيدنا إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد.أمين يارب العالمين.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات. إنك سميع قريب مجيب الدعوات, ويا قاضي الحاجات. الّلهمّ أحسن أخلاقنا وصحّح اجسادنا ونور قلوبنا وأحسن أعمالنا والى الخير قرّبنا وعن الشّر ابعدنا واقض حوائجنا فى الدنيا والاخرة. رّبنا تقبّل منّا انّك انت السّميع العليم وتب علينا انّك انت التّواب الرّحيم. اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِاْلأِيْماَنِ كاَمِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلدَّعْوَةِ حَامِلِيْنَ وَبِاْلإِسْلاَمِ مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ وَلِلنِّعاَمِ شاَكِرِيْنَ وَعَلَى اْلبَلاَءِ صاَبِرِيْنَ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلاَدَنَا هَذَا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ سَخَاءً رَخاَءً، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِناَ سُوْأً فَاَشْغِلْهُ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ كَادَنَا فَكِدْهُ وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُ تَدْبِيْرَهُ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِيْ ضَمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفَظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، أََللّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا، أَللّهُمَّ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، َسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Menjadi Guru Profesional Berkarakter Islami

Menjadi Guru Profesional Berkarakter Islami

Oleh: Dr. Toto Suharto, M.Ag.

(Disampaikan pada Seminar “Menjadi Pendidik Berkarakter Islami”, BEM Tarbiyah dan Bahasa IAIN Surakarta, 13 September 2011)

Kata “profesi”, “profesional” dan “profesionalisme” dewasa ini menjadi semacam kata kunci bagi kehidupan modern. Semua orang berlomba-lomba menjadi orang yang profesional.  Profesi dimaknai sebagai kategori pekerjaan yang berbasis pengetahuan, yang biasanya diperoleh melalui pendidikan atau latihan keahlian. Profesi berbeda dengan pekerjaan biasa (occupation).

 Orang yang bekerja sesuai profesinya disebut profesional. “Profesional” dapat diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan profesi, yaitu yang memerlukan keahlian khusus dalam menjalankannya. Profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merujuk pada suatu ide, aliran, isme, atau paham yang bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi yang dilaksanakan oleh profesional dapat mengacu kepada norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan terbaik kepada klien. selengkapnya unduh di sini.

Khutbah Idul Fitri 1432 H

RAMADHAN MENGEMBALIKAN FITRAH KEMANUSIAAN

Oleh: Toto Suharto

 الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. لاإله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد. الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا, لاإله إلا الله و الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.

الحمد لله الذي جعل اليوم عيدا لعباده المؤمنين. وختم به شهر الصيام للمخلصين.وجعل في طاعته عز الدنيا والاخرة للطائعين. اشهد ان لااله الا الله وحده لاشريك له شهادة بها تطهر القلوب من الغش اللعين. واشهد ان محمدا عبده ورسوله اطوع الخلق لرب العالمين. اللهم فصل وسلم وبارك على سيد نا محمد وعلى اله واصحابه الجاهدين. اما بعد: , فيا أيها المسلمون رحمكم الله! أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتّقون. قال الله تعالى في القرأن الكريم وهو أصدق القائلين: قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا عيدا لأوّلنا وأخرنا وأية منك, وارزقنا وأنت خير الرازقين.

 Hadirin dan hadirat, al-‘aidin wa al-‘aidat ! Ketika secercah cahaya fajar satu Syawal muncul di ufuk Timur, sinarnya telah menebarkan benih-benih kedamaian, kehangatan dan kesejukan pada aura dan hati segenap kaum Muslimin. Kedatangannya disambut dengan gema takbir dan tahmid, sebagai tanda kemenangan atas perjuangan besar berperang melawan hawa nafsu. Gemuruh suara takbir membahana sejagad, berkumandang membesarkan ke-Maha-Besaran dan ke-Maha-Sucian Tuhan.

Sebagai Muslim, sejatinya kita senantiasa membasahi bibir dengan kalimah takbir puluhan kali pada setiap harinya. Bahkan, shalat yang kita lakukan, pada setiap gerakannya juga ditandai oleh bacaan takbir. Hari ini kita semua mengulang-ulang lafadz keagungan Tuhan itu, guna menandai kehadiran Idul Fitri. Takbir merupakan suatu pengakuan bahwa hanya Allah saja yang Maha Besar, hanya Allah Yang Maha Agung dan hanya Allah saja Yang Maha Tinggi. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak boleh mengagungkan apapun, dan siapapun di atas kebesaran Allah.

Namun, setalah sebelas bulan kita lewati, mulai dari Syawal hingga Sya’ban, banyak sekali perbuatan yang tak kita sadari, justeru telah menyebabkan kita menjadikan Tuhan Selain Allah. Tidak jarang setan selalu berupaya menyesatkan kita, menawarkan Tuhan-Tuhan lain untuk dibesarkan. Akhirnya, muncullah berbagai Tuhan pengganti Allah, bisa dalam bentuk kekayaan, kekuasaan, keegoisan, intelektualisme atau yang lainnya. Seseorang yang telah mengagungkan kekayaan, maka ia akan bersedia melakukan apa saja untuk memperoleh harta benda tersebut, tanpa memperdulikan halal dan haramnya. Begitu juga orang yang membesarkan kekuasaan atau jabatan, maka pada gilirannya Allah pun dipandang kecil. Kedudukan tidak lagi dipandang sebagai amanah Allah. Kekuasaan yang semestinya dipergunakan untuk mengayomi si lemah yang tak berdaya, malah dipakai untuk melindungi yang kuat dan yang berkuasa.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah !

            Kehadiran bulan Ramadhan ke tengah-tengah kita, sesungguhnya merupakan sarana yang strategis bagi kita untuk mengembalikan Tuhan-Tuhan palsu itu pada tempatnya, dan sekaligus mengukuhkan keesaan dan kebesaran Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam kehidupan kita. Selama Ramadhan, kita dilatih untuk menundukkan hawa nafsu. Kita tahan keadaan lapar dan dahaga, kendatipun makanan dan minuman tersedia di hadapan kita. Kita isi setiap malamnya dengan qiyamullail, ruku’ dan sujud di hadapan Allah SWT. Kita hadirkan al-Qur’an setiap hari, agar hati kita tersentuh oleh kesucian wahyu. Bulan Ramadhan kita anggap sebagai saat yang tepat untuk melakukan pembinaan ruhaniyah. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari padanya. Kita dilatih dan dibina untuk membumikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Pema’af, maka melalui Ramadhan, kita mencoba untuk mudah mema’afkan kesalahan orang lain, tidak pemarah, apalagi pendendam. Allah juga adalah Rahman dan Rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Maka selama Ramadhan, kita coba teladani sifat Allah ini dengan cara menebarkan rahmat dan kasih sayang di antara sesama makhluk Tuhan. Demikian seterusnya, sifat-sifat Tuhan lainnya, selama Ramdhan, kita coba hayati esensinya lewat keteladanan dalam kehidupan keseharian. Bahkan apabila kita saksikan acara-acara di televisi, banyak sekali program-program religius menyambut Ramadhan, yang nilai positifnya tiada lain kecuali agar kita menempatkan Tuhan dalam hati kita, dan membumikan sifat-sifatnya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita semua secara konsisten dan kontinyu mencontoh sifat-sifat Tuhan tersebut, hal itu berarti kita telah membangun serta memakmurkan bumi menjadi “bayang-bayang” sorga yang penuh kedamaian dan keamanan.

            Seseorang yang senantiasa berupaya meneladani Tuhan dalam berbagai sifat-Nya, dilukiskan filosuf Ibn Sina sebagai berikut: “Seorang yang bebas dari ikatan raganya, dalam dirinya terdapat sesuatu yang tersembunyi, namun dari dirinya juga tampak sesuatu yang nyata. Ia akan selalu gembira dan banyak tersenyum. Betapa tidak, karena hatinya telah dipenuhi kegembiraan sejak ia mengenal-Nya. Apabila ia mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mengajak dengan cara lemah lembut, tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan intimidasi dan perusakan. Jika ia orang kaya, maka ia akan selalu dermawan, karena cintanya kepada harta benda tidak berbekas lagi. Begitu juga sikap kesehariannya, akan selalu pema’af, karena dadanya demikian lapang sehingga mudah menampung segala kesalahan orang.

            Hadirin, jamaah shalat ‘Id yang berbahagia!

Demikianlah Ramadhan merupakan sarana strategis untuk membumikan sifat-sifat Tuhan. Apabila selama Ramadhan kita berhasil melakukan ini, maka kita layak menyebut diri sebagai orang-orang yang beridul fitri. Secara bahasa, idul fitri berarti  “kembali kepada kesucian sesuai asal kejadian.” Hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitri. Kullu Maulidin Yuladu ’Alal Fitrah. Fa Abawahu Yuhawwidanihi Au Yunassironohi, Au Yumajjisanihi (Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, suci. Kedua orang tuanyalah yang membuat ia bisa menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi). Menurut Hasan Langgulung, Fit{rah adalah suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. Fit{rah merupakan potensi kodrati yang dimiliki manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk mempertahankan fit{rah ini.

Fitrah kesucian manusia itu, menurut Quraish Shihab, dimiliki setiap manusia sejak kelahirannya, walaupun karena kesibukan dan dosa-dosa ia terkadang menjadi terabaikan dan bahkan tidak terdengar lagi suaranya. Kesibukan dan dosa-dosa itulah yang disebut dalam hadis itu sebagai ”Orang Tua”, yaitu sesuatu di luar keadaan manusia, yakni apa saja yang dapat membuat manusia lalai akan fitrah kemanusiaannya, sehingga ia bisa menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar Wa Lillahil Hamd!

Jika idul fitri kita maknai sebagai kembali kepada fitrah kesucian, maka di dalamnya terdapat tiga unsur yang saling berkatan, yakni: benar, baik dan indah. Dengan berpedoman kepada ketiga ini, maka seseorang yang ber-idul fitri senantiasa akan berbuat sesuatu yang indah, benar dan baik. Bahkan dengan kesucian jiwanya, ia akan berusaha memandang segalanya secara positive thinking. Dalam hubungannya dengan sesama manusia, ia secara maksimal akan mencari sisi-sisi yang baik, benar dan indah. Ia menyadari bahwa dengan mencari yang indah, akan melahirkan estetika, mencari yang baik akan melahirkan etika, dan mencari yang benar akan melahirkan logika. Dengan pandangan demikian, maka seseorang itu tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari keburukan dan kesalahan orang lain. Kalaupun ia menemukannya, ia akan memberi ma’af atau bahkan berbuat baik kepada orang yang melakukan kesalahan itu. Sikap seperti itulah yang dituntut dari seorang Muslim yang bertakwa. Allah berfirman dalam surat Ali Imran:

وسارعوا الى مغفرة من ربكم وجنة عرضها السموات والارض اعد ت للمتقين. الذين ينفقون فى السراء والضراء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس والله يحب المحسنين.

“Dan bersegaralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu, dan kepada sorga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

 Mengutip dua poin terakhir dari kandungan ayat ini, yaitu mema’afkan kesalahan orang lain dan berbuat baik terhadap makhluk lain, terdapat suatu kisah menarik, yaitu bahwa konon ada salah seorang sahabat Rasul yang pernah bersumpah untuk tidak berbuat baik terhadap seseorang, yang telah melakukan kesalahan terhadap anggota keluarganya. Ia ditegur Rasul dengan turunnya ayat:

ولا يأتل اولى الفضل منكم والسعة ان يؤتوا اولى القربى والمساكين والمهاجرين فى سبيل الله وليعفوا وليصفحوا الاتحبون ان يغفر الله لكم والله غفور رحيم.

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu, bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” QS. Al-Nur: 22.

             Konsep mema’afkan merupakan ajaran Islam yang utama, karena itu perintah untuk mema’afkan, berulang kali disebut dalam al-Qur’an. Kata ma’af dalam al-Qur’an diistilahkan dengan kata al-‘afwu, yang berarti “menghapus”, karena prilaku mema’afkan itu sebenarnya adalah menghapus bekas-bekas luka yang terdapat di dalam hati. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan mema’afkan jika masih ada sesuatu yang tersisa sebagai bekas luka itu di hati. Itu sebabnya, sebagian ulama fiqh menuntut agar seseorang yang memohon ma’af dari orang lain, terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak akan melakukannya lagi, serta meminta ma’af sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Selanjutnya, refleksi dari al-‘afwu itu harus dimanifestasikan dalam bentuk al-shafhu. Kata ini pada mulanya berarti “kelapangan.” Darinya dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran atau halaman” serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan.” Seseorang yang melakukan al-safhu, dituntut untuk melapangkan dadanya, sehingga mampu menampung segala ketersinggungan, dengan menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Al-Safhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu, menurut al-Raghib al-Asfahaniy, dipandang lebih tinggi nilainya dari pada sekadar mema’afkan.

             Hadirin jamaah Id Rahima Kumullah!

Sebagai kata akhir dari uraian ini, maka dapat diambil suatu konklusi bahwa sejatinya, seluruh rangkaian ibadah di bulan Ramadhan, baik shalat, puasa, zakat dan shalat Id itu sendiri, dimaksudkan untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan kita. Orang yang berhasil menjadikan Ramadhan sebagai momen untuk mengembalikan fitrah ini, yaitu setelah sebelas bulan yang lalu mengalami rona maksiat dan debu dosa, maka ia layak beridul fitri, merayakan kemenangan karena berhasil mengembalikan fitrahnya dalam kesucian. Inilah makna sabda Rasul yang menyebutkan bahwa Siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala dari Allah, maka diampuni segala dosanya yang telah lalu. Man Shama Ramadhana Imanana Wah Tisaban, Ghufiro Lahu Ma Taqaddama Min Dzabihi. Ketika dosa masa lalu telah diampuni, maka ia kembali suci, sebagaimana ketika dilahirkan. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang layak merayakan idul fitri dalam makna yang sebenarnya, bukan idul fitri yang bersifat seremonial belaka. Laisal Idu Liman Labisal Jadid, Wa Lakinnal Idu Liman Tho’atuhu Tazid. Bukanlah Beridul Fitri itu bagi orang yang memakai baju baru, tetapi idul fitri itu bagi orang yang ketaatannya bertambah.

بارك الله لي ولكم ولسائر المسلمين والمسلمات فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.

 

الخطبة الثانية

الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر الله أكبر الله أكبر. الله أكبر.ولله الحمد.

الحمد لله الذى جعل اليوم عيدا للمسلمين, وجعل عبادة الصوم وزكاة الفطر من شعائر الدين. أشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له. وأشهد أن محمّدا عبده ورسوله.أما بعد: فيا عباداالله, إتقوا الله حق تقاته ولاتموتنّ إلا وأنتم مسلمون. اللهمّ صلّ وسلّم وبارك على سيدنا محمّد وعلى أل سيدنا محمّد كما صليت وسلّمت وباركت على سيدنا إبراهيم وعلى أل سيدنا إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد.أمين يارب العالمين. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات. إنك سميع قريب مجيب الدعوات, ويا قاضي الحاجات. اللهم أعز الإسلام والمسلمين, وأصلح ولاة المسلمين, وألف بين قلوبهم وأصلح ذات بينهم وانصرهم علي عدوك وعدوهم, ووفقهم للعمل بما فيه صلاح الإسلام والمسلمين. اللهم لاتسلط  علينا بذنوبنا من لايخافك ولايرحمنا, يا أرحم الراحمين. الّلهمّ أحسن أخلاقنا وصحّح اجسادنا ونور قلوبنا وأحسن أعمالنا والى الخير قرّبنا وعن الشّر ابعدنا واقض حوائجنا فى الدنيا والاخرة. رّبنا تقبّل منّا انّك انت السّميع العليم وتب علينا انّك انت التّواب الرّحيم. ربنا أتنا في الدنيا حسنة وفي الأخرة حسنة وقنا عذاب النار.سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.

 

WassalamuAlaikum WR. WB.

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENDIDIKAN PESANTREN PERSATUAN ISLAM LEPAS DARI SISTEM PENDIDIKAN PEMERINTAH

Rabu, 10 Agustus 2011 14:09:44

Toto Suharto (40 th) mengatakan, SKB (Surat Keputusan Bersama) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Pendidikan) tahun 1984 telah membawa kurikulum pendidikan lembaga-lembaga madrasah (MI, MTs, dan MA) terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional. Terlepas dari sisi positifnya, pengintegrasian ini berarti telah menghilangkan pembelajaran dengan ciri khas keislamannya. Kebijakan hegemoni pemerintah ini juga berarti hilangnya kebebasan madrasah untuk mengembangkan keilmuannya dengan ciri Islam, karena adanya kurikulum yang menyesuaian dengan sekolah-sekolah umum yang perbandingannya yang 30% pembelajaran agama-70% mata pelajaran umum. Secara politis hegemoni pemerintah terhadap lembaga-lembaga madrasah adalah bentuk dominasi kekuasaan secara persuasif dalam rangka mewujudkan konsensus ideologi dan kultur. Menghadapi kebijakan pemerintah  yang merugikan pengembangan keislaman, Persatuan Islam tetap melaksanakan sistem pendidikan, dari pra sekolah sampai perguruan tinggi, dengan tidak mengikuti sistem pendidikan yang ditentukan pemerintah, yang terimplementasi dalam empat hal: Bentuk kelembagaan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, dan pendanaan pendidikan. Semua segi-segi pendidikan ini dilakukan secara mandiri dan otonom oleh Pesantren Persatuan Islam, yang menyebut diri sebagai pendidikan berbasis masyarakat

            Demikian antara lain hasil penelitian dosen IAIN Surakarta ini, yang dirangkum dalam karya disertasinya untuk memperoleh gelar doktor bidang ilmu agama pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Disertasi berjudul “Pesantren Persatuan Islam 1983-1997 dalam Perspektif Pendidikan Berbasis Masyarakat”, dipertahankan di hadapan Tim Penguji antara lain : Prof. Dr. H. M. Bahri Ghazali, M.A., Dr. Ahmad Janan Asifudin, M.A., Prof. Dr. H. Iskandar Zulkarnain., Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Prof. Dr. H. Sodiq A. Kuntoro, M. Ed. (promotor/penguji), Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A., Ph.D. (promotor/penguji), Kamis, 4 Agustus 2011, di ruang promosi gedung Convention Hall kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

            Dalam presentasinya promovendus menjelaskan bahwa penelitian disertasinya adalah penelitian politik pendidikan dengan pendekatan sejarah sosial. Menurut promovendus hasil telaah risetnya menunjukkan, pelaksanaan pendidikan pesantren persatuan Islam merupakan pendidikan kontra hegemoni terhadap hegemoni pemerintah. Kontra hegemoni di lakukan dengan alasan pesantren persatuan Islam merupakan lembaga populis yang mengajarkan kemandirian, dan penggemblengan daya tahan mental yang kuat bagi semua santrinya sehingga proses pendidikannya bersifat religius normatif, yang bertujuan untuk mencetak orang-orang muslim yang tafaqquh fi al-din. Menurut pengurusnya, kata Toto, tujuan di atas tidak akan terwujud mana kala menerapkan ideologi pancasila sementara kurikulum yang diberlakukan adalah kurikulum integralistik non dikotomik, yang memadukan antara pendidikan agama dengan perbandingan 45:55 untuk tingkat dasar dan 55:45 untuk tingkat menengah. Sementara dari segi pendanaan, biaya operasinal pendidikan Pesantren Persatuan Islam diperoleh secara swadana dan swadaya lepas dari bantuan pemerintah.

            Perjuangan kultural Pesantren Persatuan Islam dilakukan untuk tujuan menanamkan nilai-nilai kultural secara internal, mengamalkan segala ajaran Islam dalam setiap segi kehidupan berdasarkan al-Qur’an. Sementara perjuangan ideologinya diarahkan untuk melestarikan nilai-nilai ideologis Islam, sehingga kaum muslim pesantren ini tetap berpijak pada akidah dan syari’ah berdasar al-Qur’an, bukan berdasar kebijakan dan aturan pemerintah. Berdasarkan telaah disertasi ini, menurut promovendus memunculkan fenomena adanya pendidikan berbasis masyarakat organik. Yakni pendidikan berbasis masyarakat yang tidak mengikuti standar nasional pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas, tetapi betul-betul memiliki keberpihakan pada masyarakat pendukungnya.

            Dari temuan disertasi ini, putra kelahiran Ciasem ini merekomendasikan untuk melakukan telaah kritis terhadap kategori pendidikan berbasis masyarakat yang ditetapkan berdasarkan UU Sikdiknas. Kerana pendidikan berbasis masyarakat harusnya dilakukan murni oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat pula. Sehingga harus benar benar otonom tanpa campur tangan pemerintah, demi bebasnya pendidikan dari belenggu dan bayang-bayang kekuasaan pemerintah. Jadi, apapun kategori pendidikan berbasis masyarakat yang ditetapkan UU Sikdiknas, karena ada campur tangan pemerintah dalam pengelolaannya, tetap perlu dikritisi, apakah masyarakat pengelola dan penggunanya benar-benar memiliki otonomi dan kemandirian, tegas promovendus.

Sumber: http://www.uin-suka.ac.id/id/berita/berita-444-pendidikan-pesantren-persatuan-islam-lepas-dari-sistem-pendidikan-pemerintah.html

Peta Pemikiran Studi Islam 1980-2000

Oleh: Toto Suharto, M.Ag.

Abstrak

 Tulisan ini dengan telaah antologik bertujuan membuat pemetaan pemikiran studi Islam di IAIN yang telah ditulis para dosen IAIN alumni studi luar negeri antara kurun 1980 hingga 2000. Kemudian dengan melakukan refleksi secara historis, tulisan ini juga bertujuan membangun dan menciptakan kecenderungan metodologis (methodological trend) yang dapat dijadikan sebagai model baru bagi pengembangan studi Islam di IAIN. Tulisan ini menemukan bahwa pemikiran studi Islam di Indonesia era 1980-2000 dapat dipetakan dalam empat kategori, yaitu pendekatan historis, pendekatan perbandingan, pendekatan kontekstual dan pendekatan hermeneutik-fiosofis. Penggunaan pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan sosial ini dalam pemikiran studi Islam di Indonesia kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran dan kiprah dosen-dosen IAIN yang merupakan tamatan studi ke luar negeri. Mereka dalam hal ini telah melakukan pergeseran paradigma pemikiran studi Islam di Indonesia dari teosentrisme ke antroposentrisme. Kemudian penulis menganggap perlu adanya upaya sintesa dan kombinasi antara paradigma teosentrisme dengan paradigma antroposentrisme dalam pemikiran studi Islam, sehingga menjadi paradigma “teo-antroposentrisme”. Paradigma sintesis ini dalam pandangan penulis merupakan kecenderungan baru (new trend) yang dapat dijadikan “model ideal” bagi pemikiran studi Islam era kontemporer.

Selengkapnya, lihat Toto Suharto, “Peta Studi Islam di Indonesia (1980-2000)”, Khazanah: Jurnal Ilmu Agama Islam (Program Pascasarjana IAIN Bandung), Vol. 1, No. 4, Juli-Desember 2003, hal. 691-712 (Belum Terakreditasi).